Sebelum Natal 1899 tersiar kabar, seorang lelaki sangat tua yg hidup di pengasingan & meninggal di Surabaya. Suratkabar2 berbahasa Belanda mengatakan lelaki itu nampak berusia lebih dari seratus tahun. Sebulan setelah itu, satu suratkabar membeberkan informasi mencengangkan. Lelaki tua itu adalah Sultan Banten terakhir.
Sultan Maulana Mohammad Shafiuddin (1801-1899) diasingkan pemerintah Belanda ke Surabaya, Jawa Timur pada 1832. Sebelumnya, pada 1808 Gubernur Jenderal Herman William Daendels membubarkan Kesultanan (Independen) Banten.
Sir Thomas Stamford Raffles yg berkuasa di Pulau Jawa 1811-1815, memaksa Sultan menyerahkan tahtanya karena keluarga Kesultanan melakukan perlawanan.
Caroline Drieenhuizen dalam tulisannya di javapost.nl mengatakan, Kesultanan Banten saat itu hancur total. Sejarawan Martijn Eickhoff & Marieke Boembergen menyebutnya sebagai Kartago Modern.
Sebagai kompensasi atas pengasingan & penyitaan total harta miliknya, Sultan Muhammad Shafiuddin & putra-putranya menerima dukungan keuangan dari pemerintah Kolonial.
Bagi generasi penerus tunjangan pemerintah Kolonial tidak cukup. Sepuluh tahun setelah wafatnya Sultan Muhammad Shafiuddin, tepatnya pertengahan Agustus 1909, polisi Belanda di Surabaya menangkap sepasang suami-istri pengemis.
Polisi mengidentifikasi lelaki pengemis itu sebagai putra Sultan Banten terakhir. Pers Belanda mengejek : "Bagaimana mungkin seorang Sultan bisa miskin ketika berhadapan dengan pemerintah Hindia-Belanda?"
Namun, situasi keuangan keluarga Sultan yg menyedihkan bukan sesuatu yg luar biasa. Pers Eropa menganggap pihak yg harus disalahkan adalah pemerintah Kolonial.
Apa yang terjadi dengan Sultan Banten terakhir ?
Sultan tidak berdaya melawan pejabat kolonial yg menyita seluruh hartanya yg kemudian mengirimkannya ke Gudang Sipil Negara, tahun 1833. Di dalam gudang, barang-barang itu disortir tanpa tahu nilai & makna bagi masa depan Hindia-Belanda.
Naskah & surat-surat dikirim ke Sekretariat Jenderal Departement Dalam Negeri. Benda-benda langka, seperti gamelan, rebab, permata, mahkota -- simbol kekuasaan Sultan -- dua kotak sirih dengan lukisan penggembara Cornelis de Bruijn, disumbangkan ke Museum Masyarakat Batavia.
F.H.Smulders, Resident Banten, menerima gamelan yg tidak lengkap dari Kabinet Haque of Rarities. Ia juga menerima manuskrip & benda-benda Kesultanan Banten lainnya.
Barang-barang lainnya menjadi "bancakan" warga kulit asing Batavia. Sedangkan barang-barang tak dianggap penting; bendera, jubah keagamaan, arca & kursi milik raja, dijual murah-meriah di pasar loak, atau dibakar ketika tak bisa dijual.
Senjata2 logam dilempar ke laut. Perhiasan-perhiasan dijual murah. Emas & perak dilebur untuk dibuat perhiasan lain.
Fritze & Visscher, 2 warga Eropa non-Belanda di Batavia, menyadari pentingnya benda-benda tersebut. Ketika diberi ijin memilih benda-benda milik sultan Banten, mereka mengambil beberapa artefact.
Sebab, mereka tidak bisa mengambil semua.
Keduanya tahu benda-benda itu melekat pada ingatan leluhur Sultan Banten yg sebenarnya. Benda-benda itu adalah pusaka Kesultanan Banten tak ternilai harganya.
Dilelang, diinvestasikan
Barang-barang lainnya berupa keris, perhiasan, & alat musik, dilelang pemerintah Kolonial. Setengah dari hasil lelang diinvestasikan dalam belum bentuk sertifikat obligasi, atau untuk membayar utang Daendels.
Sesuai peraturan, Sultan menerima sembilan persen bunga obligasi tahunan. Namun tidak ada yg tahu apakah semua itu dibayarkan ke keluarga Sultan di pengasingan.
Selama abad ke-19, wilayah Banten menjadi milik Belanda yg utama di Indonesia. Banten adalah simbol besar bagi Belanda, tentang bagaimana sebuah kerajaan dihapus dari peta.
Sejak kedatangan VOC, Banten terus menerus melawan siapapun yg berusaha mengontrol & menjadikannya negara vassal. Perlawanan berlanjut saat Daendels & Raffles tiba.
Sultan & Kesultanan Banten harus dihapuskan karena membahayakan. Tahun 1945, ketika Belanda kembali berusaha menjajah, Jenderal Spoor memberi perhatian khusus kepada Banten.
Selama satu abad setelah pembuangan Sultan Muhammad Shafiuddin, kurator Museum Masyarakat Batavia terus mencari benda-benda pusaka yg masih berada di tangan keturunan Sultan yg dimiskinkan & pihak-pihak lain yg berkepentingan.
Alasannya sederhana, benda-benda pusaka itu berpotensi digunakan keluarga Sultan -- atau orang-orang kraton Kesultanan Banten yg lolos dari pengejaran Belanda -- membaptis diri sebagai keturunan Sultan Banten yg sah & mengobarkan perlawanan.
Tahun 1865, misalnya, Bupati Serang Raden Adipati Tjondronegoro menyerahkan barang-barang milik Sultan Banten terakhir berupa tempat tidur berlapis cermin dengan kotak naskah di bawahnya.
Ratu Siti Aminah, istri Raden Adipati Tjondronegoro, juga harus menyerahkan benda-benda yg diketahui milik Sultan Banten terakhir.
Jelang pergantian abad, kurator Museum Masyarakat Batavia membeli barang-baang milik Sultan Banten terakhir dengan harga murah. Barang-barang itu sangat penting & paling indah.
Perburuan berakhir 1906, atau tujuh tahun setelah wafatnya Sultan Muhammad Shafiuddin di Surabaya. Namun museum masih menerima barang-barang milik sultan sampai 1928, ketika kolektor terkenal Eropa J.W.van Dapperen meninggal dunia & koleksi senjata; tombak dengan hiasan indah khas Banten, diserahkan ke kurator.
Sultan Maulana Mohammad Shafiuddin mempunyai putra bernama : Pangeran Timur Suryaatmadja.
Pangeran Timur kemudian mempunyai putra bernama : Ratu Bagus Maryono Suryaatmadja.
Ratu Bagus Maryono kemudian mempunyai putri bernama : Ratu Ayu Mintorosasi.