Kampung Pecah Kulit yang terletak di Jalan Pangeran Jayakarta, Jakarta Barat memiliki catatan hitam tentang model penghukuman terhadap “pemberontak” yang menentang penguasa kolonial Belanda.
Korbannya bukan seorang pribumi, namun pengusaha keturunan Jerman-Siam bernama Pieter Erberveld. Dirinya dituding akan melakukan makar terhadap pemerintah Hindia-Belanda.
Ayah Pieter adalah seorang pengusaha kulit dari kota Elberfeld, Jerman. Sedangkan ibunya konon dari Siam (Thailand). Walau sejarawan Betawi, Alwi Shihab berpendapat bahwa ibu Pieter adalah seorang Jawa.
Pieter merupakan pengusaha kaya yang tinggal di daerah kawasan elit bernama “Jacatraweg”. Banyak orang-orang Belanda, termasuk pejabat Hindia Belanda yang tinggal di kawasan tersebut.
Pieter mewarisi kekayaan dari ayahnya yang pada tahun 1670-an merantau ke Amsterdam. Di sana, Pieter Erberveld senior bergabung dengan VOC dan menjadi prajurit kavaleri. Konon dirinya merupakan orang kepercayaan Cornelis Speelman, Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tahun 1681-1684.
“Dekat dengan kekuasaan, Pieter Erberveld senior cepat kaya raya,” tulis Anna Yulia dalam artikel berjudul Pieter Erberveld dan Kisah Hukuman Sadis Zaman Hindia Belanda yang dimuat di Berdikari Online, Senin (9/5/2022).
Namun pada tahun 1708, pemerintah VOC menyita ratusan hektare tanah milik keluarga Pieter. Pihak VOC beralasan, tanah Pieter tersebut tidak memiliki akta yang disahkan oleh pejabat VOC.
Selain itu kedekatan antara Pieter Erberveld senior dengan Speelman pun dicurigai pihak VOC. Speelman menjadi pemimpin komplotan rahasia bernama *Monsterverbond* yang disebut banyak mengeruk kekayaan VOC.
Konon ketika penyitaan berlangsung banyak kaum pribumi yang memihak kepada Pieter. Tetapi bukan melemah, pemerintah VOC malah lebih garang. Gubernur Joan van Hoorn menambah hukuman Pieter: 3.300 ikat padi.
“Sejak kejadian itu, Pieter Erberveld menyimpan rasa dendam kepada VOC,” tandasnya.
Bersamaan dengan itu, Pieter malah semakin mendekat dengan kaum pribumi. Dirinya konon menjadi seorang Muslim yang taat. Bahkan masyarakat Betawi memiliki panggilan hormat kepadanya, yaitu Tuan Gusti.
Hukuman yang sadis
Pieter bersahabat dengan Raden Ateng Kartadria, seorang keturunan ningrat dari Banten. Mereka lalu berkonspirasi dengan beberapa kawan yang sejalan untuk melakukan pemberontakan pada malam pergantian tahun baru 31 Desember 1722.
Alwi Shahab dalam artikel berjudul Eksekusi Mati Pieter Erberveld-Kartadria di Kampung Pecah Kulit menyebut saat itu Kartadria mendatangi rumah Pieter di kawasan Jacatraweg. Pieter yang telah berusia 50 tahun menyambut kedatangan kawannya itu.
Kartadria yang datang bersama belasan pengikutnya melaporkan bahwa dia sudah menyiapkan kekuatan 17 ribu orang. Mereka dilengkapi senjata, dan di hari penyerangan pasukan ini akan datang ke Batavia.
Alwi menyebut rencana ini dilakukan karena saat tahun baru biasanya orang Belanda akan berpesta malam suntuk. Saat itu, kata Kartadia yang ditulis Alwi, orang-orang Belanda ini tidak akan mampu mencegah pasukan ini untuk merebut pintu kota.
“Ya Raden, apakah kau sudah kasih perintah dengan tegas supaya tidak satu pun orang kulit putih boleh dikasih ampun. Lelaki, perempuan, tua, muda, dan anak-anak mesti dibunuh semua,” jawab Pieter.
Tetapi pembicaraan ini ternyata bocor kepada pihak pemerintah VOC ketika itu. Suatu malam, ketika Pieter dan kawan-kawan yang sedang mengadakan pertemuan rahasia digerebek oleh tentara Belanda.
Banyak versi dari sosok yang melaporkan rencana makar ini, ada yang menyebut seorang budak. Selain itu ada yang percaya bahwa Sultan Banten ketika itu yang melaporkan. Alwi bahkan menyebut putri Pieter yang melaporkan.
“Tetapi pembicaraan itu didengar oleh putri Pieter yang kala itu tengah mabuk kepayang karena kasmaran dengan seorang perwira kompeni. Rupanya orang yang tengah dilanda cinta, rela memberitahukan rencana ayahnya itu kepada kekasihnya,” tulis Alwi.
Terlepas dari itu, VOC kemudian menangkap Pieter, Raden Kartadria, dan 23 orang pengikutnya. Setelah proses di Collage van Heemraden Schepenen, Pieter dan 24 orang pribumi ini dijatuhkan hukuman mati.
Proses eksekusi ini dilakukan di sebuah lapangan dekat rumah Pieter. Eksekusinya sangat kejam dan biadab, tangan dan kakinya diikat dengan tali masing-masing dihubungkan dengan empat ekor kuda yang menghadap empat penjuru.
Lalu dengan sekali hentakan, keempat kuda itu berlarian terpencar. Tubuh Pieter terbelah atau terpecah menjadi empat bagian. Kepala Pieter kemudian dipenggal dengan pedang, dan ditancapkan di atas sebuah tonggak.
Monumen peringatan itu diberi papan peringatan yang dibuat dari batu berwarna biru berukuran 1 x 2 meter. Ini menjadi tugu peringatan terhadap siapapun yang berani memberontak terhadap pemerintah kolonial Belanda.
Pada batu itu juga tertulis sembilan baris tulisan berbahasa Belanda. Lalu di bawah tulisan berbahasa Belanda ini, terdapat pula terjemahannya dalam bahasa Jawa. Peringatan itu berbunyi:
Sebagai kenang-kenang yang menjijikan atas dihukumnya sang pengkhianat: Pieter Erverbeld. Karena itu dipermaklumkan kepada siapapun, mulai sekarang tidak diperkenankan untuk membangun dengan kayu, meletakan batu bata dan menanam apapun di tempat ini dan sekitarnya: Batavia, 14 April 1722.
Pahlawan orang Betawi
Monumen Pieter Erberveld sempat berdiri di lokasi eksekusi matinya, yakni di sekitar lokasi yang saat ini dinamakan Kampung Pecah Kulit, Pinangsia, Taman Sari, Jakarta Barat. Monumen ini dibangun sebagai peringatan agar tidak lagi ada orang yang memberontak.
Namun, monumen ini dihancurkan oleh orang Jepang ketika menjajah Indonesia pada pertengahan 1942. Tetapi surat kabar Pandji Poestaka sempat menyiarkan catatan soal Pieter dengan nada hormat.
Saat itu, Jepang memang membenci Belanda, sehingga sosok Pieter bisa “terangkat” meskipun monumennya tetap dihancurkan. Pada tulisan itu, pemerintah Jepang memberikan penghargaan atas sikap Pieter itu.
“...Kepala Pieter Erberveld oleh pemerintah Belanda disoela dan ditantjapkan ditembok disoeatoe tempat di Djakarta, oentoek didjadikan lambang nasib mereka jang berani memberontak melawan kekoeasaan Belanda. Sekarang pada zaman peroebahan ini, djasa Pieter Erberveld mendapat penghargaan jang semestinja.”
Kemudian kini, batu asli dari monumen Pieter Erberveld ditempatkan di Museum Sejarah Jakarta (Museum Fatahillah), Kota Tua. Replika monumen dalam bentuk yang persis sama dibangun lagi di Museum Prasasti, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Wujud replika monumen ini sama dengan wujud asli yang pernah dipotret pada zaman penjajahan Jepang, sebelum monumen itu dihancurkan. Foto itu pernah ditampilkan dalam Pandji Poestaka tahun XXI, 9/10 Maret 2603 (tahun Showa Jepang atau 1943 Masehi).
Sedangkan terdapat juga tengkorak tiruan, sebagai pengganti tengkorak asli Pieter yang dahulu dipancangkan usai dihukum mati pada tahun 1722. Tengkorak itu terpajang di besi tajam, semacam mata tombak.
Sementara itu masyarakat Betawi pun masih mengenang sosok tersebut bahkan menamakan tempat eksekusi Pieter sebagai nama kampung, yakni Pecah Kulit. Menggambarkan kondisi pecahnya kulit sang pahlawan karena ditarik kuda.
“Dinamakanlah tempat ini sebagai pecah kulit. Pecah kulit dahulu dikenal sebagai tempat yang lumayan angker, di sini adalah tempat orang-orang Chinese yang nggak takut terhadap pemerintah kolonial. Banyak orang sakti mandraguna dan jawara China di sini, ujar Supandi warga Kampung Pecah Kulit yang disadur dari Detik.
Belakangan tugu peringatan ini diciptakan kembali untuk kepentingan wisatawan. Tetapi sayangnya tempat bersejarah ini kemudian berubah fungsi. Sejak 1985, dia menjadi showroom salah satu delier kendaraan bermotor.
“Sekaligus membuktikan kepentingan sejarah selalu dikalahkan kepentingan ekonomi, demi membela segelintir orang berduit,” ketus Alwi.
Sumber : https://www.goodnewsfromindonesia.id/2022/05/11/kisah-pieter-erberveld-hero-batavia-yang-dikenang-jadi-kampung-pecah-kulit