Razanews, Jakarta,- Satu hal yang harus dipahami dari Kartini adalah ia tidak pernah menulis buku, ia hanya menulis surat kepada teman-temannya di Indonesia dan di Eropa serta mempublikasikan tulisan di surat kabar dengan nama samaran "Tiga Sudari". Dan dalam semua tulisan-tulisannya tersebut, ia menggunakan bahasa Belanda dan bahasa Melayu-peralihan (Melayu-Belanda). Buku "Habis Gelap Terbitlah Terang" yang sering dianggap hasil kerja Kartini sebenarnya adalah hasil kerja Mr. J.H. Abendanon.
"Habis Gelap Terbitlah Terang" adalah himpunan surat-surat Kartini yang berjumlah 106 pucuk surat. Pertama kali disusun oleh Mr. J.H. Abendanon, bekas Direktur Departemen Pengajaran dan Ibadat Hindia Belanda. Penyusunan surat-surat Kartini tersebut dilakukan tanpa meminta nasihat dan pertimbangan dari siapa pun alias "One Man Show" atau "urusan pribadi" Mr. J. H. Abendanon. Untuk selanjutnya hasil penyusunan surat-surat tersebut ia terbitkan menjadi sebuah buku dengan judul: "Door Duisternis tot Licht" pada 1911.
106 pucuk surat itu terdiri atas 14 pucuk surat kelada Estele Zeehandelaar, 8 pucuk kepada Nyonya M.C.E. Ovink-Soer, 3 pucuk kepada Tuan dan Nyonya Prof.Dr.G.K. Anton di Jerman, 4 pucuk kepada Dr. N. Andriani, 5 pucuk kepada Nyonya G.G. de Booij-Boissevain, 3 kepada Ir. H.H. van Kol, 7 kepada Nyonya Nelly van Kol, 49 kepada Nyonya R.M. Abendanon-Mandri, 5 kepada Mr. J. H. Abendanon, 6 kepada E.C. Abendanon (Putra Mr. Abendanon), sepucuk tidak jelas ditujukan kepada siapa dan satu pucuk lagi merupakan surat gabungan kepada Nyonya dan Tuan Mr. J.H. Abendanon.
Bisa dilihat, keluarga Abendanon mendapatkan porsi lebih banyak. Padahal, sebelum Kartini mengenal keluarga Abendanon, ia hanya mengirim 4 pucuk surat kepada dua sahabatnya. 2 pucuk untuk Estelle "Stella" Zeehandelaar, seorang gadis Yahudi-Belanda sekaligus aktifis feminis yang getol mengkampanyekan kesetaraan gender dan kesetaraan hak pendidikan. 2 pucuknya lagi untuk Nyonya Ovink-Soer.
Dari tahun petama penerbitan hingga cetakan ulangnya yang ke-4 tahun 1923, Mr. J. H. Abendanon tidak pernah meminta pertimbangan, terutama pada kalangan intelektual Indonesia mengenai komposisi penyusunan surat-surat tersebut. Mungkin para pembaca Indonesia waktu itu kurang kritis, karena sampai saat ini pun hanya Pramoedya Ananta Toer seorang yang mengajukan protes terhadap Mr. J. H. Abendanon melalui bukunya yang berjudul "Pangggil Aku Kartini Saja".
Pram mempertanyakan, mengapa surat-surat Kartini yang lain tidak pernah dicari dan diumumkan, atau setidaknya untuk dijadikan pelengkap. Dan mengapa keluarga Abendanon mendapatkan porsi yang lebih banyak, seakan-akan ia (Kartini) bergantung pada keluarga Abendanon. Apakah penyusunan surat-surat Kartini tersebut untuk kepentingan politis Abendanon semata atau murni untuk mengabadikan pemikiran-pemikiran Kartini? Debatnya masih berlangsung hingga hari ini.
Door Duisternis tot Licht, pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa melayu oleh Commissie voor de Volkslectuur (sekarang: Balai Pustaka) saat di bawah naungan Dr. D. A. Rinkes, dengan judul "Habis Gelap Terbitlah Terang". Proses terjemahan tersebut dikerjakan oleh Abdoelah Dahlan, mantan asisten dosen bahsa Melayu di Universitas Leiden dan Zainoedin Rasad, mantan guru di Prins Hendrik School, Jatinegara. Pada penerbitan selanjutnya, Dahlan dan Rasad mendapatkan bantuan dari dua teman lainnya, yaitu Sutan Moehammad Zain, mantan anggotan Volksraad, dan Djamaloedin Rasad, mantan asisten dosen bahasa Melayu di Universitas Leiden, Belanda sekaligus redaktur Sumatera Bergerak di Bukittinggi, Sumatera.
Pada cetakan kedua, para penerjemah mencantumkan nama "Empat Saudara" pada buku tersebut sebagai satire dari nama samaran Kartini, "Tiga Sudari". Tidak jelas, mengapa pada cetakan ketiga (1951) menampilkan nama Armijn Pane sebagai penerjemahnya.
Armijn Pane, dalam surat pernyataannya tertanggal 31 Januari 1951 mengakui bahwa "Habis Gelap Terbitlah Terang" bukanlah hasil kerjanya. Sebab, pada cetakan terjemahan pertama dan kedua masih memepergunakan bahasa Melayu peralihan atau biasa dikenal dengan Melayu-Belanda, bukan Indonesia. Dan harusnya cetakan ketiga pun masih menggunakan Melayu-Belanda karena bahasa Melayu peralihan tersebut adalah ciri khas dari karya-karyanya Armijn. Tidak jelas juga kenapa sampai hari ini, nama Armijn Pane tetap dicantumkan dalam buku "Habis Gelap Terbitlah Terang".
"Door Duisternis tot Licht" yang berisi 106 pucuk surat Kartini tersebut mengalami 15 kali proses penyuntingan. Dan dalam "Habis Gelap Terbitlah Terang", 17 pucuk surat-suratnya Kartini tidak diterjemahkan. Dalam versi terjemahaannya tersebut ditonjolkan seorang Kartini yang bukan pejuang, tapi lebih pada seorang perempuan yang putus asa karena dipaksa harus menikah muda, ratap tangis, keputusasaan, malahan Kartini dicitrakan sebagai seseorang yang mengalami ketergantungan terhadap Belanda. Inilah komposisi terjemahan "Door Duisternis tot Licht" yang lebih besar isinya ditentukan oleh pemerintah Hindia Belanda.
Akibat penyuntingan di sana-sini membuat buku "Habis Gelap Terbitlah Terang" menjadi kacau, karena banyak kepentingan politis yang membersamai terbitnya buku tersebut. Parahnya, Kartini sebagai manifestasi dari Perempuan Indonesia Modern oleh beberapa pihak dituduh sebagai agen Hindia-Belanda. Hal tersebut karena Kartini adalah produk pertama dari politik etis yang dijalankan oleh pemerintahan Hindia Belanda. Padahal, Kartini pernah menolak beasiswa sekolah dari pemerintah Hindia dan merekomendasikan agar pemerintah memberikannya pada Haji Agus Salim, tapi tetap saja tuduhan sebagai agen Hindia masih melekat pada dirinya.
Ya, "Habis Gelap Terbitlah Terang" bagai pisau bermata dua. Satu sisi mengenalkan kita terhadap sosok Kartini, tapi di sisi yang lain kaya akan nuansa unsur politis. Untuk itu, saya merekomendasikan untuk membaca buku "Panggil Aku Kartini Saja" karya Pramoedya setelah membaca "Habis Gelap Terbitlah Terang" sebagai penyeimbang agar kita tidak langsung menghakimi Kartini sebagai agen Hindia-Belanda secara langsung.
(Rz.ajh)